Rabu, 03 Desember 2008

BaSkEt BuAT kAuM DBL

etEksi Basketball League (DBL), kompetisi basket pelajar Jawa Pos, tahun ini belum dimulai untuk wilayah Jawa Timur. Tapi, pendaftarannya saja sudah bikin geleng-geleng kepala.

Bayangkan, ketika registrasi dibuka tengah malam, puluhan tim sudah antre. Bahkan ada yang sudah "camping" 24 jam di Graha Pena Surabaya supaya bisa menjadi pendaftar yang pertama.

Kemudian, hanya dalam 66 jam, 256 tim SMP dan SMA sudah tercatat sebagai peserta. Tak sampai lima hari, angka 270 tim sudah tercapai, mewakili belasan kota di Jatim.

Tak pernah terbayang di benak saya dan teman-teman DetEksi Jawa Pos, DBL bakal tumbuh menjadi seheboh ini.

Ketika pertama menyelenggarakan kompetisi ini pada 2004, "hanya" 100 tim SMA yang mendaftarkan diri, dan kami butuh waktu sebulan penuh untuk mendapatkan 100 peserta itu.

Dengan sepenuh hati, saya dan teman-teman DetEksi ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pendukung DBL. Kami akan berusaha agar antusiasme mereka terbalas dengan penyelenggaraan yang memuaskan, 19 Juli hingga 23 Agustus nanti.

Terima kasih khusus kami ucapkan untuk satu sekolah yang sempat mendaftar saat kali pertama DBL diselenggarakan pada 2004 lalu.

Selama bertahun-tahun, sekolah itu mendominasi basket pelajar. Bukan hanya di Surabaya, tapi juga di Jatim dan nasional. Dan ucapan terima kasih itu kami sampaikan karena mereka BATAL ikut DBL 2004…(alasan batal, baca terus sampai bawah)

***

Setelah lima tahun menyelenggarakan dan mengembangkan DBL, kemampuan saya main basket tidaklah membaik. Saya juga tidak menambah kemampuan yang menjadikan saya seorang pelatih basket. Hanya, saya sekarang mengerti bahwa kemenangan adalah racun yang membuat sakit. Saya juga mengerti bahwa dominasi adalah racun yang membunuh.

Tim-tim basket pelajar terbaik, menurut saya, belum tentu tim-tim juara. Tim-tim basket terburuk, menurut saya, justru tim-tim yang mendominasi atau terlalu banyak ambisi.

Tim yang kalah 0-100 tapi terus mencoba bertanding, menurut saya, adalah tim terbaik. Tim yang setiap tahun menang 100-0, menurut saya, adalah tim terburuk.

***

Saya mengajak Anda mengikuti cerita Coach Carter. Sebuah film inspiratif tentang basket SMA di Amerika Serikat yang dibintangi Samuel L. Jackson. Film ini berdasarkan kisah nyata, tentang seorang pelatih bernama Ken Carter yang tinggal di kota bernama Richmond, California (dekat San Francisco).

Richmond tergolong kota ghetto. Tingkat kriminalitasnya begitu tinggi. Katanya, pelajar SMA di sana lebih berpeluang masuk penjara daripada masuk perguruan tinggi.

Tapi, kota itu punya satu kesukaan: basket. Setelah bertahun-tahun menjalani musim buruk dengan pemain-pemain yang sulit diatur, SMA Richmond merekrut Ken Carter sebagai pelatih. Bayarannya kecil sekali, tantangannya begitu berat.

Begitu masuk, Carter langsung tangan besi. Semua pemain harus meneken kontrak disiplin. Harus rajin masuk kelas, harus menjaga nilai minimum C. Kalau hari pertandingan, dia juga minta para pemainnya untuk ke sekolah pakai jas dan dasi. Saat belajar di kelas, mereka wajib duduk di baris paling depan.

"Bermain basket adalah sebuah privilege (kehormatan, Red). Jadi, kita harus mensyukurinya dan menunjukkannya dengan perbuatan yang terhormat pula," begitu kira-kira ucapan Carter.

Setelah latihan keras, tim Richmond bukan lagi tim pecundang. Bahkan, mereka berbalik menjadi tim yang tidak terkalahkan. Manisnya kemenangan pun mulai berubah menjadi racun…

Para pemain Richmond mulai besar kepala. Mereka mulai meremehkan kelas. Parahnya, para guru SMA itu juga mulai mabuk kemenangan, membiarkan para pemain itu berlaku seenaknya. Silakan bolos, yang penting nanti menang.

Tentu saja ini membuat Carter marah. Apalagi, nilai para pemainnya mulai anjlok.

Carter pun membuat keputusan yang menghebohkan seluruh Amerika Serikat. Dia mengunci gedung pertandingan, memilih kalah WO beberapa kali sambil menunggu para pemainnya memperbaiki nilai.

Rupanya, kemenangan bukan hanya membuat para guru mabuk. Para orang tua murid juga begitu. Mereka marah luar biasa kepada Carter, memintanya untuk mundur sebagai pelatih. Mereka tidak lagi ingat bahwa anak-anak mereka adalah pelajar SMA, yang penting main basket dan menang.

Tapi Carter mantap dengan prinsip hidupnya. Untung, para pemain melihat kemantapan itu. Mereka saling membantu belajar dan memperbaiki nilai. Setelah beberapa waktu (dan beberapa kali kalah WO), nilai mereka membaik. Tim ini kembali boleh bertanding.

Pada akhirnya, tim ini masih mampu mencapai babak tertinggi. Meski gagal jadi juara, mereka telah menunjukkan semangat pantang menyerah. Lebih penting lagi, para pemain ini mulai melihat masa depan. Kemampuan akademis mereka cukup untuk membantu masuk perguruan tinggi, bahkan mendapatkan beasiswa.

Prospek masa depan mereka menjadi lebih cerah. Hidup mereka kelak tak harus bergantung kepada basket.

"Saya datang untuk melatih anak-anak bermain basket. Mereka tumbuh menjadi manusia seutuhnya," kata Carter.

***

Jangan salah, Coach Carter tak hanya ada di Amerika. Di Indonesia, lebih spesifik lagi di Surabaya, banyak Coach Carter-Coach Carter lain yang punya prinsip serupa.

Kompetisi DBL hanya memastikan para Coach Carter itu tidak bekerja sia-sia. Konsep Student Athlete DBL, harus ditegaskan, memang mengutamakan sekolah di atas basket. Student dulu, baru athlete (ini juga kutipan dari film Coach Carter).

Pemain DBL harus selalu naik kelas. Dan tahun ini, di Jatim, pemain DBL harus punya nilai rata-rata Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia di atas 6.

Sebelum DBL, pemain basket dan belajar seperti tidak nyambung. Banyak pemain basket andal yang tak mampu naik kelas. Bahkan, percaya atau tidak, ada sekolah-sekolah yang sengaja tidak menaikkan siswanya supaya bisa juara basket. Tidak naiknya kadang sampai berkali-kali!

Setelah beberapa tahun menerapkan aturan harus naik kelas, tentu ada saja sekolah yang mencoba "mengakali" aturan itu. Meski sang pemain punya nilai buruk, sekolah mencoba membantu mendongkrak supaya tetap bisa "mengharumkan" nama sekolah di lapangan.

Di beberapa kota yang didatangi DBL tahun ini, bahkan ada sekolah yang sengaja "memalsu" ijazah dan rapor supaya sang pemain bisa "mengharumkan" nama sekolah di lapangan.

Tahun ini, aturan nilai minimum kami keluarkan sedekat mungkin dengan pendaftaran. Dengan demikian, sekolah-sekolah "harum" itu tak sempat "merekayasa" rapor terakhir pemainnya.

Tapi, kami tahu bahwa sekolah-sekolah "harum" itu akan mencoba mengakalinya tahun depan. Pesan kami untuk sekolah-sekolah itu hanya satu: Tolong jangan.

Pertama, kami telah menyiapkan aturan-aturan susulan yang bisa mengganjal niat-niat itu. Lagi pula, adalah hak penuh kami untuk menolak peserta yang kami anggap tidak mendukung "spirit of the rule." Yaitu mereka yang mungkin tidak melanggar regulasi, tapi mungkin punya niat untuk mengakali regulasi.

Kedua, tolong jangan lupa bahwa peserta DBL adalah "sekolah," bukan "klub profesional." Tujuan utama sekolah adalah mengantar anak menjadi manusia-manusia andal. Bukan trofi kemenangan.

Alangkah menjerumuskannya sekolah-sekolah yang ingin mengakali regulasi itu. Sekarang saja, saya sudah menemui sejumlah pemain bintang SMA yang dulu pernah merasakan juara DBL, tapi sampai sekarang belum punya kelanjutan hidup yang mantap. Kuliah tidak, bekerja juga mau setinggi apa.

***

Baru-baru ini, ada seorang pemilik sekolah yang mencoba melakukan segala cara untuk menjadi juara DBL (dan kompetisi-kompetisi lainnya). Segala yang terbaik mereka kejar. Di satu sisi, itu baik. Di sisi lain, apa yang mereka lakukan seperti "gelap mata."

Bagaimana tidak. Pemain-pemain jago mereka tawari pindah ke sana dengan iming-iming surga. Seperti tim sepak bola Chelsea merekrut para bintang.

"Ini demi pembinaan," katanya.
"Ini demi kemajuan basket," katanya.

Dua alasan itu, menurut saya, tidaklah salah. Namun, jangka panjangnya, perbuatan-perbuatan itu justru berpotensi menjerumuskan basket. Setelah keliling berbagai provinsi menyelenggarakan DBL, saya merasakan betul betapa menjerumuskannya pola-pola "segala cara" tersebut.

Di daerah-daerah yang memiliki tim dominan, basketnya justru tenggelam. Siapa mau ikut kompetisi kalau juaranya itu-itu terus? Siapa mau ikut berpartisipasi kalau tahu tidak mungkin bisa menikmati pertandingan? Siapa mau nonton kalau yang menang itu-itu terus?

Dan itu bukan hanya di tingkat pelajar, di tingkat profesional, masalah yang sama pun terjadi.

Di sisi lain, daerah-daerah yang tidak memiliki tim dominan justru hidup basketnya. Seperti di Jawa Timur ini, khususnya di Surabaya. Peserta terus membeludak, jumlah pemain terus bertambah.

Dampaknya, penyelenggara seperti saya terus bisa berkembang. Peserta terus bertambah, penonton terus bertambah. Perbasi setempat juga menjadi lebih aktif karena jumlah pertandingan terus bertambah.

Itu semua lantas membantu basket. Lebih banyak orang aktif di basket, menarik lebih banyak sponsor masuk ke basket.

Aktif + sponsor = pertumbuhan.
Dominasi = penyusutan.

***

Saya sebagai commissioner DBL punya pengakuan: Saya dan teman-teman melakukan ini bukan untuk kemajuan basket. Itu bukan tugas kami, ada badan lain yang tugasnya mengurusi itu.

Baru-baru ini, ketika melakukan pertemuan dengan perwakilan NBA dari Amerika Serikat, mereka punya pertanyaan "dalam" untuk saya: "Azrul, what gives you satisfaction?" Maksudnya: Apa yang membuat saya mau menjalani dan mengembangkan DBL?

Jawaban saya singkat: "Because we can, and no one has done it before (Karena kami bisa, dan tak ada yang pernah bisa melakukannya sebelumnya)."

Dari awal, sudah menjadi impian saya Indonesia punya liga pelajar yang dikelola secara profesional seperti di Amerika. Saya ingin anak-anak itu merasakan apa yang saya rasakan ketika masih jadi anak SMA di Amerika dulu.

Waktu itu (1993-1994), saya jadi fotografer tim basket sekolah, selalu ikut pergi menemani para pemain bertanding. Dan di sana, juara bukanlah segalanya. Kemenangan hanyalah hasil akhir pertandingan.

Terus terang, sekolah saya masuk kategori "Penggembira." Bertanding 18 kali, kalahnya lebih dari sepuluh kali. Tapi semua pemain selalu bangga, pertandingan selalu ramai, penonton selalu penuh.

Ada kenikmatan lain yang ditemukan selain menang atau kalah. Apa itu? Sulit menjelaskan. Antara kehebohan bertanding di hadapan orang tua dan teman-teman, atau kebanggaan bertanding di kompetisi yang rutin dan dikelola secara profesional.

Dan itu yang sekarang saya dan teman-teman coba untuk temukan di DBL.

Bahwa dampaknya memberikan kemajuan kepada basket, ya kita semua patut bersyukur. Bahwa dampaknya memberikan kehidupan lebih baik bagi orang-orang yang berkutat di basket, ya kita semua patut bersyukur.

Sekarang, tugas kita adalah menjaga supaya itu bisa terus kita syukuri. Dan kami di DBL akan melakukan segalanya supaya mereka yang tidak punya "spirit" sama itu kelak tidak mengganggu.

***

Sebagai penutup, saya dan teman-teman di DBL sekali lagi ingin mengucapkan terima kasih kepada sekolah dominan yang mengundurkan diri pada 2004 lalu.

Seandainya tim itu terus ikut, sangat mungkin gelar juara akan terus mereka raih. Dan itu berarti DBL sama saja dengan kompetisi lain, tidak memberikan kesempatan untuk sebanyak mungkin peserta "bergembira."

Seandainya tim itu terus ikut, tidak akan ada pertandingan-pertandingan spesial yang membuat DBL dramatis. Penggemar DBL mungkin ingat, juara tim putra 2004 dan 2005 sama-sama ditentukan lewat pertandingan ketat, yang berlanjut sampai perpanjangan waktu.

Dan untuk kompetisi 2008 ini, saya menunggu kiprah para "Penggembira." Mereka mungkin kesulitan dapat hadiah dan kemenangan, tapi merekalah yang membuat kompetisi ini (dan basket secara keseluruhan) terus berkembang.

Tanpa Penggembira, kompetisi jadi biasa-biasa saja.
Tim-tim Penggembira itulah para pahlawan basket.

Tim-tim Penggembira itulah yang mungkin punya pemain bermasa depan lebih cerah. Tidak bergantung kepada basket. Tidak gelap mata dari basket.

Tidak ada komentar: